Lebih dari satu juta akun pengguna Facebook asal Indonesia datanya diambil Cambridge Analytica. Angka tersebut memang terbilang lebih kecil apabila dibandingkan dengan Amerika Serikat yang kebobolan hingga 70,7 juta.
Dalam hal ini, Indonesia menempati posisi ketiga. Hanya berada di bawah Filipina dengan 1,17 Juta pengguna. Lagi, tiga besar dunia dalam hal yang tidak menyenangkan dan bukan sesuatu yang dibanggakan seperti ini.
CA Boneka Trump
Perampasan data jutaan akun itu menyeruak dengan tersangka Cambridge Analytica. CEO Facebook, Mark Zulkarnaen dibuat keliyengan atas kasus pencurian hingga penjualan data pengguna.
Cambridge Analytica menggunakan 87 juta akun, dan hampir 95% digunakan sebagai alat memenangkan Donald Trump dalam pemilihan Presiden Amerika Serikat 2016 silam. Sedangkan korban yang data-datanya dirampas hanya mendapatkan permintaan maaf sebagai kompensasi.
Sayembara Berhadiah
Demi menghindari kasus ini terjadi kembali, pihak Facebook lewat Newsroom mengadakan sayembara dan ditujukan kepada siapapun yang berminat. Sayembara berupa membantu FB bila menemukan celah keamanan situs jejaring sosial berlogo F itu.
Facebook memang dapat digunakan buat panen data lewat aplikasi pihak ketiga (third-party apps). Tenang, ada hadiahnya senilai 40 ribu dolar AS atau senilai lebih dari 500 juta rupiah.
Sekarang pertanyannya, apa yang sesungguhnya telah terjadi antara data pengguna, Facebook, serta aplikasi pihak ketiga yang notabenenya berperan penting dalam kasus ini?
Melansir dari halaman Kebijakan Data yang direvisi pada bulan September, Facebook dengan terang-terangan memberitahu kepada penggunanya bahwa ada sejumlah data yang akan mereka ambil.
Data tersebut meliputi Informasi Perangkat, Pembayaran, Peramban Internet, Jaringan Seluler, Kontak Pribadi hingga layanan dan aplikasi pihak ketiga yang disambungkan ke Facebook lalu yang terakhir interaksi antar pengguna juga dicatat sedemikian rupa.
Dalam penjelasannya mereka juga menginformasikan kepada pengguna bagaimana data mereka dipergunakan. Salah satunya diolah dengan algoritma Facebook demi membantu mengembangkan aplikasi, layanan serta fitur yang lebih bisa paham kebutuhan penggunanya.
Singkatnya, Facebook memfokuskan diri pada pahaman dari data pengguna untuk menampilkan konten, fitur dan layanan yang sesuai dengan minat pengguna. Dan yang paling mencolok pemahaman FB terhadap penggunanya yakni dalam hal iklan yang akurat dan sesuai target.
Kalian Sudah Setuju
Siapapun termasuk Anda dapat berkilah jika informasi pribadi yang diunggah ke Facebook bukan untuk konsumsi publik. Banyak yang menganggap bila unggahan informasi tidak dilakukan secara teratur atau dengan acak-acakan.
Misal, bergabung ke suatu grup lalu masuk ke aplikasi game kemudian di lain waktu menyebarkan konten yang dilihat dalam segi waktu memang saling terpisah.
Disini harus lebih paham, bahwa Facebook mencatat ini semua dengan suatu kesatuan, karena tiap akun Facebook ada nomor unik sebagai ID dan semuanya berbeda. Ironisnya, pengguna telah menyetujui itu semua.
Betul, pengguna secara langsung atau tidak telah menyetujui akan kebijakan Facebook yang satu ini. Ya ibarat kata buang air seseorang cenderung tidak bisa memilih model toilet jongkok atau duduk.
Pun dengan Facebook, pengguna tidak diharuskan untuk mencentang Terms & Condition demi menggunakan layanan FB walau hanya dengan opsi tertentu. Dan apesnya, pengguna yang menyetujui kemudian centang 90% tidak membaca terms and condition, lalu ngamuk dan marah ketika suatu waktu datanya bocor sampai disalahgunakan.
Begitu juga dengan aplikasi buatan Cambridge Analytica. “This is Your Digital Life” panen data penggunanya sebab mereka yang menggunakan sudah pasti setuju akan kebijakannya.
Tes personality yang cukup menarik, banyak bikin orang tertarik mencobanya. Pengguna yang menggunakan aplikasi milik Cambridge Analytica diharuskan kasih akses supaya hasil tes kepribadiannya dibagikan ke beranda Facebook milik pengguna.
Harus diakui cara inilah yang bikin aplikasi tersebut dipakai oleh banyak orang. Namun tentu saja pengguna seakan dipaksa setuju akan Terms & Condition dari app itu tanpa memahami isinya supaya bisa cepat-cepat pakai aplikasinya.
Sekarang pengguna yang sepakat akan kebijakan layanan aplikasi pihak ketiga, tapi kenapa situasi di Amerika Serikat cenderung memanas? Bahkan merembet hingga media Indonesia yang lebay itu ikut-ikutan sok heboh.
Kesalahan (bila memang bersalah), Cambridge Analytica jadi alat konsultan politik demi memenangkan Trump di Pilpres AS. Presiden Amerika Serikat ke-45 tersebut awalnya memang cukup lemah dari segi elektabilitas dibanding pesaingnya Hillary Clinton.
Apalagi haters dia itu banyak. Disinilah peran Cambridge Analytica justru jadi kambing hitam, dan Facebook ikutan kena getahnya sebagai bukti Mark Zulkarnaen dibully oleh Senator.
Seandainya posisi Hillary Clinton ada di Donald Trump sekarang, belum tentu media selebay ini.
Facebook memang bukan apa-apa tanpa penggunanya. Tapi apa boleh buat, kalau orang pada nggak setuju sama kebijakan mereka ya tentu tidak bisa menggunakan layanan FB. Jadi terpaksa deh harus setuju biar bisa nulis PT. Mencari Cinta Sejati di profil akun.
Skandal Cambridge Analytica memberikan pelajaran, bahwa data dan identitas pribadi di internet khususnya media sosial menjadi tanggung jawab masing-masing pengguna.
Kalau data pribadi tidak mau dipakai ya jangan main internet, atau jika terpaksa minimal baca laman Privacy Policy (kebijakan privasi) setiap situs itu pasti ada. Malas ya baca ribuan kata dari Terms of Service? Apalagi kalau pakai bahasa Inggris hehehe.
Nggak ada yang gratis, bikin akun di media sosial yang tidak berbayar pun harus mau ikut kebijakan data. Nah, data yang diambil kemudian diolah untuk dijadikan proposal pada pengiklan agar iklan yang dipasang sesuai target.
Penggunalah yang Memilih
Ketika masih tahap awal atau beta, Mark padahal telah mengumpulkan data pengguna media sosialnya dan saat itu cuma orang sekitaran kampus Harvard tempat dia berkuliah dulu.
Saat itu juga kejadiannya sama. Orang sangat tertarik pada Facesmash, model medsos yang bikin orang ketagihan membuat pengguna mengabaikan efek negatif data yang dikumpulkan oleh Mark. Tabiat ini juga diterapkan pada model bisnis Facebook sekarang, kumpulin data pengguna buat dimanfaat sebagai profit.
Buat bikin ekosistem Facebook jadi sedemikian besar, developers akhirnya diundang untuk memasang aplikasi mereka di FB atau plugin di situs. Tujuan juga sama, demi memanfaatkan data pengguna. Sekarang pilihan balik pada Anda sebagai pengguna, tetap menggunakan media sosial itu atau menghapusnya.
Kalau saya pilih cara alternatif: Pakai Facebook namun tanpa mengunggah identitas asli, termasuk nama, umur, alamat, email pun kosongan.
Sekali lagi, belum atau tidak akan ada solusi yang bisa diandalkan demi menghindari terjadinya perampasan data di internet. Kalau nekat pakai identitas asli cuma bisa berharap yang terbaik dan bersiap untuk yang terburuk.